Edelweiss

Sudah delapan tahun aku meninggalkan negara ku sendiri ini. Kini saat nya aku untuk kembali. Kembali dalama suasana Indonesia. Kembali pada keluarga terhangatku di sini. Juga kembali merobek pengalaman terpedih ku disini pula. Dulu aku punya hak untuk berlari ke negara orang untuk bersembunyi dan melarikan diri dari Fachri dan dari mama. Namun sekarang, justru aku yang kembali dan berlari mengejar Fachri ke Indonesia. Jelas ada perbedaan antara dulu dan sekarang. Apa itu bedanya, aku juga belum bisa menjelaskannya. Satu hal yang harus kupastikan ketika bertemu Fachri di pengadilan nanti.  
“Tama dimana? Apa dia baik-baik saja? Dia sudah meminum obat yang selalu aku berikan untuk dia bukan, tak?” tanya ku pada gadis cantik berpakaian seragam putih abu-abu di hadapan ku.
“Kenapa kamu baru kembali? Kenapa ngak skalian aja kamu menghilang dari rumah ini? Hah?” suaranya meninggi, mata nya sembab. Hanya punggung yang ia tampak kan padaku.
Aku hanya terdiam. Ludah ku serasa gemetaran mendengar kata-kata yang dilontarkan Ritak kepadaku. Berkali-kali aku ingin menghapus memory saat aku meninggalkan Indonesia dulu. Tapi perkataan yang baru saja aku dengar, memakas ku untuk terus membuka memori pahit dimana sidah kusembunyikan jauh jauh di dalam pikiran ku. Selagi aku mencari-cari ingatan itu, tangan halusnya merengkuh tubuhku. Air matanya hangat berjatuhan di bahuku. Masih punggu yang aku lihat dari badan Ritak. Hanya saja, tubuh ini sangat dekat hingga tak ada batas diantara tubuhku dan tubuh Ritak. Ritak memeluk ku. Pelukan rindu yang begitu hebat sehingga ia marah ketika melihatku disini. Kerinduan Ritak terhadapku begitu ingin membunuhnya hingga ia memilih untuk tak ingin melihatku lagi. Namun, keadaan berubah ketika Ritak benra-benar melihatku ada di hadapannya. Kemarahan yang semula tertanam di benak Ritak kini lebur dan menghilang berganti dengan rasa rindu yang sangat kuat yang menguasai tubuhnya. Pelukannya membuatku kembali tenang hingga aku tak dapat berkata apa-apa terhadap Ritak.
“Kakak kemana saja sih sebenarnya? Apa susahnya sih kak kalau harus menghubungi ku lewat sosial media? Kakak sesibuk apa sih disana? Kalau disana kakak mengobati mental orang lain, harusnya kakak lihat disni. Aku, aku juga sakit kak dengan keadaan kakak-kakak ku yang seperti ini” Suaranya lebih pelan kali ini, derik dalam kerongkongannya terdengar karena dia baru saja menagis selama kurang lebih satu setengah jam dalam pelukanku.
“Maafkan kakak, tak. Kakak tau, kakak ngerti...”
“Kalau kakak tau dan kakak ngerti, kenapa kakak ngak menjalankan apa yang seharusnya dijalankna kak? Huh?” tangan mungil nya yang penuh bercak noda cat lukis mengusap pipnya yang terus basah.
“Ritak, kakak akui kakak salah. Kakak bukan seorang kakak yang baik buat kamu, bukan anak yang baik pula untuk mama. Banyak problematika orang lain yang kakak selesaikan dengan kemampuan kakak sendiri. Namun, menghadapi problematika di hidup kakak sendiri, semua kemampuan itu terasa luntur” Kedua tangan ku berpegang kuat pada bahu Ritak. Sesak dadaku. Air mataku tak dapat ditoleransi lagi untuk tidak keluar. Tangisan ku jatuh di bahu Ritak.
“Bukan tangisan kakak yang ingin Ritak lihat ketika kakak kembali. Keberadaan kakak disini saja, disini bersamaku, bersama kak Tama dan juga bersama mama.” Jemari-jemari lembutnya memegang erat telapak tangan ku. Membuat punggungku tegap di hadapannya.
“Kamu bantu kakak ya, tak. Sekarang, Tama dimana? Mama juga dimana?” tanyaku perlahan kepada Ritak. Aku menatap bola mata Ritak dan sepertinya ada yang aneh.
“Tama masih berada di rumah sakit, kak. Mama sepertinya juga disana dan masih terus berusaha mencari seorang pengacara untuk kak Tama.”
“Nah, ini alasan terbesar kakak untuk kembali, tak. Kakak punya pengacara hebat yang bisa ngebantuin Tama. Kamu kasih tau kakak aja dimana....” belum selesai ucapku, suara serak Ritak memotong pembicaraan ku.
“Nggak mudah mencari seorang pengacara untuk Kak Tama. Bukak karena kasus nya yang terlalu rumit. Hanya saja ini karena mama. Kejadian beberapa tujuh tahu lalu yang menimpa mama, hingga membuat mu mealrikan diri. Seberapa sulitnya keadaan itu. Tanpa kujelaskan panjang lebar, kakak juga pasti ngerti kan” katanya tanpa menatap bola mataku. Kedua tangan nya bergenggaman erat. Sepertinya ia gemetaran.
Aku tercekam dan terdiam sesegera mungkin. Pikiran ku terus mencari memory dimana ada kejadian-kejadian bersama mama dan juga Tama tujuh tahun lalu.
-o-
Pengadilan. Entah ini tempat yang seperti apa. Aku tidak mengerti mengapa orang tetap memakai hukum jika pada umumnya, hanya untuk dilanggar. Bukan orang lain yang melanggarnya. Justru mereka yang membuat hukum itu sendiri yang melanggarnya. Namun, derap kaki ku kali ini berinjak disni bukan untuk mengomentari hal itu. Ada urusan lain yang lebih penting lagi yang harus kuselesaikan disini. Aku mencari Fachri setelah sekian lama aku melarikan diri dari nya. Satu hal yang ingin ku pastikan di hadapan Fachri hari ini. Hal itu, semoga aku menemukan jawabannya hari ini.
“Selamat siang, Fachri” Serasa aku mengoyak lidahku di dalam mulut. Berat rasanya harus menyebutkan nama Fachri langsung dari lidah dan rongga mulutku. Degupan hati ku ini masih sama seperti tujuh tahun yang lalu. Namun keadaan ku, sudah berbeda dari tujuh tahun yang lalu. Begitu juga dengan Fachri. Banyak yang berbeda darinya, dia lebih tampan. Itu saja yang nampak berbeda.
“Tiar...” Raut wajahnya berganti 180 derajat dari sebelumnya. Entah ini dibilang dengan raut wajah yang seperti apa. Campur aduk antara terkejut, sedih dan juga bahagia.
“Aku disini untuk meminta bantuan mu. Kamu bisa bantu aku” Jujur saja, dalam hatiku terselip beribu ribu kata yang ingin kukatakan pada Fachri. Namun semuanya tersendat di tengah kerongkongan.
“Bisa kok. Apakah mungkin kamu ingin akku membantu menangani kasus adik kamu?” Gaya bicaranya sungguh seperti seorang pengacara hebat.
“Iya, Fach. Maaf aku langsung meminta bantuan kepadamu setelah sekian lama ini. Aku akan bayar biaya nya kok tenang, jangan bekerja gratis untuk adik ku.” Sebisa mungkin aku menjadikan diriku terlihat anggun dan normal.
“Kamu kemana saja selama ini? Berlari? Orang berlari pasti berhenti sesaat untuk meneguk satu gelas air. Seperti kamu saat ini. Apa kamu sedang meneguk segelas air hari ini?”
“Hah?” Kata-kata yang terlontar dari kerongkongan Fachri tidak begitu jelas kupahami. Aku hanya terfokus pada pita suara ini. Pita suara Fachri. Masih sama seperti tujuh tahun lalu, lembut, serak dan cakep.
“Kamu haus? Ingin minum apa, nona?” Suaranya sedikit lebih santai. Sepertinya suasana saat ini berbeda dari suasan lima menit yang lalu.
“Oh. Fanta Strawberry saja. Ada?” celetukku.
“Ada kok. Selalu ada di kulkas kantor ku untuk kuminum setiap harinya. Disana ada fanta? Masih minum fanta di tengah malam?” Mulutnya terus berbicara namun bola matanya tak terfokus kepadaku namun kepada layar 15 inchi dihadapannya tepat. Aku sempat bergumam. Siapa yang sebenarnya dia aja bicara ini, aku atau layar itu.
“Masih. Masih suka minum fanta di tengah malam, masih sengan tidur larut malam, masih senang nonton running man tiap malam, masih senang berenang seminggu sekali, masih senang jogging di pagi hari, masih senang jalan-jalan di hari sabtu dan minggu, masih senang makan mie instan sama telor ceplok tiap ngak punya duit, masih....” Lidahku tergelincir, sepertinya aku sudah hilang kendali.
“Kenapa berhenti? Aku masih mendengarnya kok.”
“Masih senang mandi satu kali sehari, masih senang jalan-jalan sendirian, masih senang mainin instagram, masih senang mainin path, masih senang ..... mikirin, kejadian tujuh tahun lalu. Kenapa ya kita dulu berakhir seperti ini? Andai saja, andai andai saja semua baik-baik saja, bisakah aku menggenggam tangan mu saat ini? Tanpa harus aku berlari, tanpa harus aku bersembunyi, tanpa harus aku ketakutan.”
“Apa bedanya aku dengan seseorang penderita syndrom savant yang terus mengunci memoryku selama tujuh tahun lalu?”
“Kamu berbicara tentang aku?”
“Mungkin hidupku terus berjalan, langkah karirku terus berkembang, raga ku terus menguat, pikiran ku terus bekerja. Hanya saja, memory ku berhenti. Berhenti dan kukunci sejak tujuh tahun lalu. Apa susahnya berbicara lewat media sosial? Apa susahnya memecahkan masalah itu bersama ku? Apa salahnya pula kamu tetap disini tanpa menggenggam tangan ku, Tiar? Ketika seseorang tidak lagi menjadi siapa bagiamu, apakah kamu akan menjadikannya bukan apa-apa?” Bola matanya benar-benar menatapku penuh tanya, raut wajahnya menuju padaku erat.
“Kamu adalah hal paling tidak masuk akal yang memasuki hidupku. Ketika hal tak masuk akal itu masuk menjadi satu dengan jiwamu, bisakah kamu melepasnya begitu saja? Tidak, tidak semudah itu. Aku berlari karena aku ingin bersembunyi. Aku bersembunyi karena aku takut. Keadaan saat itu membuatku takut, membuatku ingin bersembunyi dan membuatku berlari. Aku sudah siap menerima satu buah cincin dari mu saat itu, aku siap menggenggam tangan mu erat. Namun, justru di perayaan malam natalmu kala itu, kamu menelfon ku. Mengatakan hal-hal yang membuat ragaku lumpuh seketika. Tepat setelah melaksanakan shalat tahjud aku menerima telfon mu, menerima pula kenyataan yang benar-benar ingin aku tolak selama ini. Menjadi bagian tidak masuk akal di dalam diri seseorang, tidak kah kamu bangga akan itu?”
Bibirku tak sanggup menahan. Kerongkongan ku terus menggelitik ku untuk terus melontarkan kebenaran yang ingin aku ucapkan. Kebenaran tentang bagaimana diriku terhadap Fachri. Kebenaran dimana hatiku masih berdegup. Berdegup untuk dia yang dihadapanku saat ini. Perjalanana kisah kasih ku bersama Fachri bukan hal biasa yang ada di ftv. Perjalanan itu menuntunku sampai ke pintu kesuksesan mu, perjalanan itu menuntunku dari mimpi buruk ku, perjalanan itu menuntunku dalam kegelapan, perjalanan itu menuntunku dari kelumpuhan. Dan juga perjalanan itu menuntun mama ku dalam jurang kehancuran. Keputusan jaksa kala itu membuat koperasi usaha milik mamaku harus ditutup. Bukan karena dia seorang jaksa yang membuat hatiku lebih tertekan saat itu, karena dia adalah ayah Fachri saat itu. Namun alasan mengapa aku berlari dari Fachri bukan karena mama ini. Perkataan Fachri di malam natal kala itu, tepat setelah aku melaksanakan shalat tahajudku. Itulah yang membuatku ingin berlari. Ketika pagi harinya Fachri telah memasangkan cincin di jemari manis ku, malam harinya ia membuangku sperti permen karet.
“Malam itu, mama mu datang menemui ku. Tepat setelah misa natal ku selesai malam itu. Mamam mu berkata sopan sekali di hadapanku. Memohon sekali kepadaku. Menangis di hadapanku. Kata-kata yang aku ucapkan malam itu, dia pula yang memilihkannya untu ku. Betapa tertusuknya lidahku malam itu, kamu tidak akan pernah tau bagaimana rasanya. Betapa lumpuhnya diriku setelah itu, kamu tidak tau seperti apa. Diam mu membuatku tenang setelah itu. Namun, kepergianmu membuatku lebih tersakiti dari malam itu. Apa yang aku katakan malam itu adalah antonim dari dalam hatiku. Bukan karena aku membencimu aku melakukan ini. Karena aku menyukaimu. Menyukai mu sangat, sampai aku hampir kehilangan satu nyawaku setelah kamu pergi. Perasaan tujuh tahun yang lalu sudah lama hilang dan mati di dalam diriku. Namun memory tujuh tahun lalu dan sebelumnya kupastikan tak akan pernah mati seperti edelweiss.”
“Apa alasan edelweiss terus hidup hingga waktu yang sangat lama?  Itu rahasia Tuhan. Lalu apa yang membuat memorymu terus hidup pada keadaan tujuh tahun lalu?”
Percakapan yang sedikit panjang antara aku dan juga Fachri membuat susana saat itu menjadi beku dan dingin seperti di gunung es. Kenyataan dimana mama yang membuat Fachri melepaskan mu, cukup membuatku kaget dan hampir pingsan. Sebenarnya mama tidak melakukan kesalahan atas keputusannya. Aku dan Fachri lah yang berbuat salah sejak awal. Perbedaan diantara kita yang kita anggap akan bisa ditoleransi oleh keluarga kita ternyata, tidak hal yang sebenrcanda itu. Kenyataan dimana Fachri masih meletakkan diriku di dalam memory ku tidak ada artinya bagiku ketika aku menemukan suatu hal yang aku cari. Cincin berlian putih yang melingkar di jari manis Fachri cukup membuatku untuk duduk disana.
“Papah, Tiar dapat bintang lima hari ini dalam pelajaran menggambar” suara kecil nan mungil dari pintu di belakang punggunggku menyentakkan lamunan ku dalam sekejap. Gadis kecil setinggi meja kantor Fachri nampak cantik dan hidungnya mancung seperti Fachri. Awalnya aku bertanya-tanya. Fachri sudah tidak punya keponakan sekecil itu. Setelah aku memutar memoryku lima menit yang lalu, aku terfokus pada kata pertama yang ia lontarkan. Papah. Itu berarti dia. Satu hal lagi yang membuatku berfikir. Nama gadis itu, nama gadis itu Tiar.
“Aku balik dulu, Fach. Pastikan kamu menagani kasus adik ku dengan benar. Aku tidak menginginkan dia tidak dijatuhi hukuman apa-apa. Perkecil saja sebisa mungkin hukuman yang diberikan jaksa kepadanya. Bagaimanapun Tama tetap bersalah. Namun bagaimanapun, Tama tetap adik lelaki ku. Tama masih keluargaku, yang harus kulindungi.” Pikiran dan juga hatiku masih terus bekerja saat aku melontarkan kata-kata ini kepada Fachri. Kenyataan yang aku terima selama bebrapa menit saja tanpa memberiku kesempatan untuk bernafas sesaat saja, membuat otak dan hati ku bekerja tidak senormal biasanya. Mereka terasa kacau.
“Edelweiss tidak mati di setiap tempat dan keadaan. Seperti halnya seorang Tiar yang tak pernah mata di setiap tempat dan keadaan ku pula. Tiar”
Aku telah menemukan apa yang aku cari dan menemukan apa yang tidak aku cari. Fachri sudah menikan dengan wanita lain, Fachri sudah memiliki anak dari wanita lain dan ia beri nama anak itu seperti nama ku, Tiar. Fachri sudah menjadi salah satu pengacara hebat di kota ini, karirnya begitu cemerlang di dunia pengadilan. Perasaan Fachri kepadaku mungkin sudah mati. Namun keberadaan diriku di dalam memory Fachri tak akan pernah mati seperti bunga Edelweiss. Jujur saja, hal ini lebih menyenangkan daripada tidak menjadi apa-apa dimata Fachri. Setelah apa yang aku lalui hari ini, aku siap untuk melangkah maju. Tanpa ada ketakutan, tanpa ada perssembunyian dan tanpa ada pelarian pula. Kisah ku bersama Fachri tidak akan pernah mati di memory ku dan di memory Fachri. Namun kelanjutan kehidupan kita setelah itu tidak menjadi satu. Fachri memiliki kehidupan sendiri. Begitu pula dengan ku.

-o-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perahu Kertas

Mahasiswa Psikologi, Peminatan Apa?

Bunga Jelek Namun Kagak Bisa Mati